Feeds:
Posts
Comments

A. Sudiarja SJ

 

Anda tentunya masih ingat apa yang disabdakan Yesus dalam Injil : “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Mt.5,3). Meski pun kita menerima sabda itu, namun kebanyakan akan bertanya-tanya, apa maksud yang sesungguhnya dari sabda tersebut. Mengapa? Karena kecenderungan manusia adalah ingin kaya dan tetap bahagia. Mengapa Yesus memperlihatkan bahwa jalan kebahagiaan bukan melalui kekayaan melainkan kemiskinan? Bagaimana sabda itu mesti dicerna?

 

Seperti judul salah satu buku yang pernah diterbitkan Kanisius beberapa tahun yang lalu, ditulis oleh anak-anak Talenta, “muda berfoya-foya, tua menjadi kaya, mati masuk surga.” Itulah, tampaknya yang menjadi dambaan anak-anak remaja zaman sekarang. Dalam pikiran mereka muncul moto yang lazim, “hidup hanya sekali, janganlah masa remaja disia-siakan”. Mereka ingin merasakan kebebasan, memperoleh pengalaman baru, petualangan, kadang dengan menempuh resiko. Meski pun demikian, mereka tak ingin lupa bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah keselamatan abadi, bersatu dengan Tuhan di surga. Akan tetapi apakah kedua keinginan itu dapat dipertemukan? Itulah tantangan yang rupanya mau direfleksikan oleh anak-anak remaja gereja kita dalam buku itu. Supaya tidak ketinggalan zaman, supaya tetap nge-trend, supaya mengenal dunia ini, supaya bahagia, anak remaja zaman ini merasa butuh untuk bisa bergaul luas, banyak teman, pamer pakaian mode terbaru, mendengarkan musik pop top tens, tidak ketinggalan mengikuti isu dan gossip para selebritis, nonton bioskop dan jajan di Macdonald atau KFC. Pendeknya ikut gaya hidup yang lazim di kota-kota modern. Semuanya ini meniru gaya Amerika, saya kira, model gaya hidup yang paling modern.

 

Ketika saya melihat-lihat di toko buku Gramedia, mata saya tertarik pada sebuah judul buku yang provokatif : “Menjadi Kaya & tetap Bahagia.” Nah ini lagi! Buku karangan Napoleon Hill, yang kiranya dimaksudkan pengarang untuk dibaca orang-orang zaman sekarang. Tetapi buku ini lebih untuk orang dewasa daripada anak remaja, atau setidaknya anak remaja yang mau menjadi dewasa. Ada sub judul tertulis disitu : “Hukum-hukum kesuksesan”. Dan seperti bisa ditebak dari anak judul tersebut, buku itu memang menjelaskan bagaimana orang bisa mencapai kesuksesan dalam banyak hal. Penulis, yang konon banyak belajar dari Andrew Carnegie ini, mengutarakan pengalaman pribadinya, hidupnya, saat-saat ia pernah merasa putus asa dan memperoleh inspirasi untuk bangkit dari kegagalan dari perkenalannya dengan banyak orang. Akan tetapi kiat-kiat yang ditawarkan ternyata bukan hanya menyangkut kegiatan bisnes seperti saya tangkap dari judul buku itu, melainkan lebih luas dan lebih pribadi, meski pun bisa juga diterapkan untuk kegiatan bisnes.

 

Penulis misalnya menceriterakan pengalaman dengan ibu tirinya, yang semula ia duga jahat, sebagaimana ibu tiri pada umumnya. Ketika ayahnya memperkenalkan dia dengannya, ia mendapatkan yang sebaliknya. Pertama kali dalam hidupnya, penulis memperoleh pujian mengenai wataknya. Dan ini menggugah dia untuk mengembangkan bakat menulisnya. Dengan banyak contoh lain yang menarik, penulis ingin mengemukakan bahwa dalam hidup kita banyak hal dapat kita pelajari untuk membina sikap dan mental yang mendukung kemajuan. Tidak ada kata putus asa, betapa pun sulit persoalan yang bisa dihadapi dalam kehidupan ini. Semuanya bisa diatasi dengan menumbuhkan perasaan optimis, gembira dan penuh syukur. Penting baginya menjaga selalu perasaan gembira dan ketenangan batin.

 

Penulis banyak buku, Napoleon Hill, juga menyatakan pernah menjadi penasehat tiga orang preside Amerika: William Howard Taft, Woodrow Wilson dan Franlin D. Roosevelt, dan juga Manuel L. Quezon, presiden Filipina yang pertama dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Kalau filsafat biasanya dipahami sebagai pengetahuan tentang kebijaksanaan dan pemahaman dunia, dan diterangkan dengan istilah-istilah khusus yang sukar ditangkap, maka Napoleon Hill ingin menjelaskan bahwa filsafat adalah kebijakan praktis yang kita anut untuk dapat memperoleh sukses dan merasakan bahagia. Di dalam buku itu, selain pengalaman yang konkrit,  ia juga memberikan patokan-patokan yang perlu diperhatikan. Jangan beranggapan bahwa Anda tak dapat melakukannya! Kemalangan? Itu adalah perangsang untuk bekerja lebih baik, jangan berputus asa! Kesadaran untuk mencapai sukses menyebabkan semuanya berjalan dengan cepat dan effektif. Ketahanan batin di dalam diri Anda dan lain sebagaiya.

 

Jadi apakah Anda ingin menjadi kaya dan tetap bahagia? Menjadi kaya rupanya merupakan salah satu tujuan hidup manusia. Juga dalam tradisi Hindu kuno ada kitab Artha Sastra selain Dharma Sastra dan Kama Sastra. Memang banyak orang ingin menjadi kaya, dengan bermacam-macam cara, dengan menambah beban kerja, dengan mereka-reka lemburan, ada juga yang dengan cara-cara yang tidak benar. Penerbit buku Napoleon Hill memperingatkan, “banyak orang kaya tetapi menderita. Lewat buku ini Napoleon Hill memberikan kunci sukses kaya dan tetap bahagia.”

 

Apakah memang kita ingin kaya? Atau apakah kekayaan memang menjadi tujuan hidup kita? Tendensi masyarakat kita dewasa ini memang materialistik. Seluruh kemajuan pengetahuan dan tehnologi, tampaknya mengarah pada peningkatan hidup kita, agar menjadi semakin enak dan ringan. Pengetahuan dan tehnologi memberi fasilitas untuk meningkatkan hidup sehat, pikiran waras dan gembira, hubungan antar sesama harmonis. Kemajuan-kemajuan ini bisa kita saksikan dalam sejarah. Kehidupan manusia zaman dahulu tampak sangat sukar dan penuh penderitaan dibandingkan dengan kehidupan zaman sekarang. Mereka harus menghadapi kekuatan alam yang seolah di luar kuasanya. Tetapi sekarang, ternyata kekuatan alam bisa ditaklukkan dan diatur untuk kepentingan manusia. Manusia bisa memperpanjang hidupnya dengan menghemat waktunya, sehingga dapat memperbanyak kegiatan dan kreativitasnya.

 

Namun dibalik kemajuan-kemajuan itu, kita juga menyaksikan bahwa penderitaan tak pernah lenyap dari dunia ini. Kemiskinan relatif tidak hilang, malah semakin meningkat dan meluas kalau kita pandang dalam perbandingannya dengan yang kaya. Penyakit tidak berkurang, baik jenisnya mau pun keparahannya. Dan ironisnya, kemajuan-kemajuan pengetahuan dan tehnologi ternyata juga menyumbang dalam keburukan-keburukan ini: polusi alam di segala wilayah, penciptaan senjata-senjata pemusnah, taktik dan politik yang makin kejam, terorisme dan dendam. Mau apa lagi? Dimanakah kemajuan itu? Apakah arti dan makan kemajuan dan kekayaan harus direlativir lagi dan kembali pada kebijakan lama : “ana dina ana upo” yang penting tidak kekurangan?

 

Kehidupan modern memang menawarkan banyak kemungkinan baik untuk menjadi kaya mau pun menjadi bahagia. Dan buku Napoleon Hill bisa memberi inspirasi, bagaimana menjadi kaya dan tetap bahagia, tidak hanya dengan nasehat-nasehat saleh atau muluk, tetapi rupanya dengan memperhatikan juga sifat-sifat dasar manusia yang sudah difahaminya dari pengalaman dan bagaimana mengelola sifat-sifat dasar tersebut untuk tujuan itu. Sifat-sifat dasar yang baik : perasaan cinta, perasaan seksual, keinginan untuk memperoleh harta, keinginan untuk melindungi diri, keinginan untuk bebas berpikir dan bertindak, keinginan untuk menyatakan pendapat pribadi, keinginan untuk mengekalkan hidup setelah mati. Dan sifat-sifat dasar yang buruk : perasaan marah dan ingin membalas dendam, perasaan takut.

 

Satu hal yang tidak saya temukan dalam buku Napoleon Hill, inspirasi dari agama, dari iman, dari Kitab Suci. Meski pun Hill menghargai amal sebagai salah satu perbuatan yang terpuji, namun hal itu penting dalam kaitan dan hubungan dengan sesama manusia saja. Kontras dengan buku ini, adalah buku-buku rohani semacam yang ditulis oleh Graham Green, yang semata-mata mengandalkan inspirasi keagamaan. Jadi, masihkan Anda ingin menjadi kaya dan tentu saja tetap bahagia? Apakah itu mungkin? Ya, mungkin saja! Itulah justru yang ingin ditawarkan oleh penulis buku tesebut. Jangan putus asa, sebelum membaca! Tetapi bagaimana harus dipertemukan dengan renungan tentang kemiskinan yang disabdakan Yesus seperti dikutip di depan? Ya, silahkan merenungkannya sendiri sebagai tugas Anda! Tugas kita semua!***

 

[ Dalam rangka merayakan pesta St. Ignasius Loyola, 31 Juli 2011, berikut ini kami sampaikan refleksi yang bisa diambil dari fase-fase dalam  kisah hidupnya. Selamat Pesta, selamat merenungkannya]

Kisah hidup St. Ignasius, yang otentik bersumber pada pengakuan pribadi nya yang ditulis oleh Luis Goncalves de Camara. Semula pater Nadal dan teman-teman mendesak St. Ignasius, untuk menuliskan biografinya karena menganggap hal itu penting untuk Serikat. Namun St. Ignasius ragu-ragu, tidak siap, banyak pekerjaan dsb. Ia minta Nadal, Polanco dan Pontius memintakan intensi dalam misa, untuk mempertimbangkan permintaannya itu. Setelah melakukan hal tsb. permintaan itu diajukan lagi, namun sampai empat tahun St. Ignasius belum sampai keputusan untuk menulis biografi. Pater Nadal memberanikan diri pda tahun yang keempat meminta sekali lagi dengan rendah hati, dan Ignasius memanggil Luis da Camara untuk mulai menulis biografinya.

1. Puri Loyola (Mei 1521-Maret 1522) : pertobatan awal

Pergolakan batin pertama terjadi di Loyola, ketika ia berbaring sakit. Keinginannya melanjutkan karir kastrian rupanya kandas karena luka kakinya yang parah, tetapi digantikan oleh kehendak untuk mengabdi Tuhan, seperti St. Fransiskus atau St. Dominikus. Keinginan ini diselingi dengan penyesalannya pada dosa-dosa masa lampaunya dan keinginannya memberikan silih (penances). Niatnya muncul untuk berziarah ke Yerusalem. Ia juga berniat masuk ordo Karthusian, sepulangnya dari Yerusalem, tetapi khawatir tidak bisa melakukan silih dalam biara. Penampakan ibu Maria dengan kanak-kanak Yesus memperkuat segala hasrat sucinya, seperti diteguhkan. Ketika pamit mau meninggalkan puri Loyola, kakaknya berkeberatan, karena melihat ia telah berubah sama sekali dari Ignasius yang dulu. Tetapi akhirnya dilepas dengan dua orang budak untuk mengantarnya ke Navarrete (duke of Najera), untuk mengabdi disana.

2. Monserrat (Maret 1522): dari bangsawan menjadi peziarah

 

Sesampai di Navarrete kedua budak dipulangkan. Ignasius memperoleh kembali sejumlah uang sebagai utang yang belum dibayarkan bangsawan itu; uang itu dibagi-bagikan untuk banyak keperluan, lalu ia bertolak ke Montserrat. Montserrat merupakan tempat ziarah “Madonna Nera”, dengan biara dominikan yang besar, terletak di atas gunung. Sebelum sampai disana, ia membeli lebih dahulu jubah peziarah yang kasar dan alat-ala peziarah. Di biara itu, ia mengaku dosanya secara tuntas, seperti dilakukan seorang novis sebelum kaul kekal. Sesudah itu ia berjaga semalam suntuk, mengenakan pakaian peziarah.

Pakaian bangsawannya ia berikan pada seorang pengemis yang kemudian ditangkap karena dikira mencuri. Atas keterangan si pengemis, Ignasius dikejar dan dimintai keterangan. Mendengar itu, ia menangis terharu karena penderitaan si pengemis, yang tak bersalah.

3. Manresa (Maret 1522 – awal 1523) : Tuhan mendidiknya seperti seorang guru terhadap muridnya

Di Manresa ia terhenti 10 bulan tanpa direncana – maksudnya hanya menunggu kesempatan kapan bisa bertolak ke Yerusalem tanpa diketahui, lewat Barcelona. Di Manresa ia mencatat banyak pengalaman rohani. Ia mulai melakukan kebiasaaan-kebiasaan :

–         ia mendapatkan sebuah gua di pinggir sungai Cardoner tempat ia bermeditasi 7 jam sehari;

–         ia mengikuti misa dan menerima  sakramen mahakudus setiap hari (sesuatu yang tidak lazim di zaman itu).

–         ia mulai memberi silih pada dosa-dosa masa lampaunya dengan puasa dan menyakiti diri

–         melawan kecenderungan lama untuk tampil gagah sebagai ksatria, sekarang ia membiarkan rambut dan kukunya tumbuh liar

Pengalaman rohani dialaminya sebagai pendidikan dalam pembedaan roh (spiritual discernment) :

–         pada umumnya ia merasakan kegembiraan yang tetap secara mendalam (interior state of very steady joy)

–         lalu muncul keraguan : dapatkah ia bertahan begini (matiraga) sepanjang hidup?

–         disusul kegigihan yang kuat melawan godaan tsb.

–         pengalaman depresi, perasaan tidak memperoleh ketenangan juga dalam doa dan misa kudus

–         depresi hilang, muncul kegembiraan lagi

–         lalu skrupel, karena meragukan pengakuan yang telah dilakukan, apakah sudah selengkapnya mengaku? Lalu mengaku dosa lagi berulang-ulang.

–         semakin skrupel, karena merasuki pemikiran sampai mendetil pada perbuatan-perbuatan yang dilakukannya di masa lampau, semakin gelisah dan takut

–         keinginan bunuh diri (karena skrupel), tetapi ada ketakutan bunuh diri (karena dianggap dosa besar)

–         memperkeras laku tapanya, tanpa mengurangi waktu doa dan ditambah berjaga di wkatu malam

–         mengaku dosa lagi, dan oleh imam disuruh menghentikan puasanya

–         ingatan pada dosa lamanya begitu menguasai, tidak yakin bahwa sudah mengaku dosa, mengaku dosa lagi dst.

–         sampai kemudian dia sadar, seperti bangun dari tidur, bahwa pikiran-pikiran itu datang dari roh jahat.

–         berhenti mengaku dosa, hatinya mulai tenang

4. Perjalanan ke Yerusalem (Maret – Sepetember 1523) : hasrat menolong jiwa-jiwa

Perjalanan ini merupakan perjalanan tanpa bekal, sebagaimana diniatinya, karena hanya mengandalkan pada kepercayaan kepada Allah. Di Barcelona Nakhoda perahu menerimanya, tetapi tidak menjaminnya untuk makanan, maka sebelum berangkat ke Yerusalem, ia pergi mengemis untuk memperoleh bekal makanan.

Seperti biasanya, para peziarah lebih dahulu pergi ke Roma untuk memohon berkat dari Sri Paus; lalu para peziarah pergi ke Venezia, menanti pemberangkatan. Di Yerusalem, devosinya besar kepada Yesus Tuhan kita, dan ingin mengikuti-Nya secara harfiah dengan ‘menolong jiwa-jiwa’, tetapi pembesar tanah itu (Fransiskan) tidak mengijinkan ia tinggal disana.

5. Kembali ke Spanyol (Septemer 1523- awal 1524)

6. Belajar dan merasul di Barcelona dan Alcala (Prapaska 1524 – akhir 1527) : merintis studi untuk merasul

Di Barcelona pada usia 33 tahun ikut belajar bahasa Latin bersama anak-anak, sampai siap untuk melanjutkan studi di universitas Alcala, dimana ia belajar artes liberales (filsafat, humaniora) sambil memberi LR dan mengajar agama; Disini ada tiga rekan yang bergabung; Mereka mengenakan jubah kasar yang seragam; Aktivitasnya yang gencar didengar oleh inkuisitor di Toledo, dia diinterogasi tetapi tidak didapati kesalahan hanya disuruh berpakaian biasa saja, karena mereka bukan biarawan

Beberapa bulan kemudian, dia dicekal gara-gara hilangnya dua orang perempuan bangsawan, seora janda dan anak putrinya, yang karena tertarik pada cara hidupnya, ingin ikut-ikutan membantu orang miskin di rumah-rumah sakit. Mereka berjalan kaki tanpa perlindungan. Meski pun Ignasius  tidak menganjurkan, namun dia tetap dipenajra karena hal ini selama duapuluh dua

Kemudian melanjutkan studi di Salamanca, – ketanggor pater Dominikan, dijebak dengan makan siang, diinterogasi dan dipenjara beberapa hari karena dituduh anggota alumbrados. Keluar dari penjara berniat ke universitas Paris

7. Universitas Paris (Februari 1528 – Maret 1535)

——

8. Dari kehidupan St. Ignasius, kita dapat mengamati berbagai macam pengalamannya :

–         berimajinasi dan berkehendak

–         merenung-renungkan kehidupan pribadi

–         membedakan berbagai macam dorongan jiwa

–         menemukan kehendak Allah dalam kedalaman hati

–         matiraga, puasa, melakukan askese untuk silih atau pun kesehatan jiwa

–         keprihatinan kepada (penderitaan) sesama

–         keprihatinan bagi Gereja semesta

Benih-benih latihan rohani dimulai di Manresa, diteruskan, dikembangkan, diperdalam melalui pengalaman memberi Latihan Rohani

–         lebih banyak doing. exercising daripada knowing

–         get more out of the experience daripada of the information

–         imaginasi, afeksi dan kehendak selain intelek; dirasakan (incarnasional)

–         director not to plant any ideas into the head of an exercitant

–         adaptasi bagi setiap pengguna latihan rohani (usia, kesehatan, pekerjaan, lingkungan dsb.)

 9. Penerbitan buku, majalah sebagai wacana

Bagaimana spiritualitas ignasian berkembang? Untuk zaman sekarang ini, seperti hal lainnya, peran media massa sangat besar. Maka penerbitan buku dan majalah sangat berperan. Akan tetapi siapa menulis dan siapa membaca? Budaya kita adalah budaya massa; maka seperti biasanya buku dan majalah sebagai wacana akan sejalan dengan perkembangan praktek penghayatan Spiritualitas Ignasian, semakin banyak dipraktekkan, semakin perlu, mendesak dan menarik publikasi-publikasi spiritualitas Ignasian, dan kurangnya publikasi Ignasian bisa menjadi tanda kurangnya penghayatan dari spiritualitas Ignasian. Liberalisme, kapitalisme, dan dengan itu juga pornografi bergerak karena orang-orang menghayatinya, mempraktekkannya. Penyelesaian politik dengan memaksa orang berbalik arah dengan mencanangkan hukum (undang-undang pornografi). Jikalau orang sudah merasakan akibat-akibat negatifnya seperti eksploitasi, kekosongan hidup, kerakusan yang tak pernah bisa dipuasi, mereka akan mencari spiritualitas lain untuk menggantikannya: muncul sekte-sekte agama, new age, dukun dsb.

Spiritualitas Ignasian, warisan lama yang tetap aktual bisa ditawarkan. Bila dunia mau menghayati spiritualitas Ignasian, masyarakat mungkin akan berubah.

Bahan Pustaka :

 

  1. Ronald Modras, Ignatian Humanism, a dynamic spirituality for the 21st Century, Loyola Press 2004
  2. Antonio de Nicolas, Ignatius de Loyola, Powers of Imagining, State University of NewYork Press, 1986

 

 

Perintis dan Pendiri SMA Kolese Loyola – Semarang

Pengantar

“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu” (Yoh 15:12). Sabda Yesus, melalui refleksi Yohanes ini, benar-benar menjelma dan hidup di dalam pribadi Romo Joanes van Waijenburg SJ. Dalam konteks pendidikan SMA Kolese Loyola, beliau memiliki jasa yang amat besar. Beliau menyemai benih cinta kasih yang diterima dari Tuhan dalam bentuk pendirian SMA Kolese Loyola. Harapannya, di dalam Kolese ini bersemi kehidupan orang-orang yang saling mencintai.

Tulisan singkat ini adalah usaha untuk mengenang pribadi beliau, yang melaluinya SMA Loyola ada, hidup dan bertumbuh sampai usia 60 tahun saat ini. Karena tipisnya informasi dan belum mendalamnya pengolahan data, kami baru dapat menyajikan tiga pokok berikut, yaitu (1) mengenal pribadinya, (2) tugas perutusan dan karya-karyanya, dan (3) menghidupkan dan menghidupi kembali semangat perjuangannya. Kami berharap, tulisan ini menjadi rintisan awal untuk penggalian dan refleksi lebih lanjut. Akhirnya, semoga ini semua menyalakan kembali semangat kita yang bekerja di Kolese-Kolese, untuk secara kontekstual menghidupi roh perjuangannya dalam menemani orang-orang muda yang dipercayakan Tuhan pada kita di zaman sekarang.

Mengenal Pribadinya

Romo Joanes van Waijenburg SJ lahir di Amsterdam-Belanda, dalam sebuah keluarga beranak sebelas, pada tanggal 7 Agustus 1911. Walau agak terlambat, dengan semangat, beliau masuk Serikat Jesus tanggal 7 September 1929. Setelah belajar filsafat dan teologi, beliau ditahbiskan imam di Nederland, tanggal 19 Agustus 1943. Selain studi pokok untuk menjadi imam, beliau juga mendalami studi hukum dan bergelar MR (Meester of de Rechten), ahli hukum sipil. Pada bulan Februari 1948, beliau tiba di Indonesia. Sambil terus belajar bahasa Indonesia, beliau menjalankan tugas dalam pendidikan Sekolah Lanjutan Atas. Dan pada tahun 1949, beliau mendirikan Kolese Loyola di Semarang. Selain bertugas di Kolese Loyola Semarang, beliau juga pernah menjadi Rektor Kolese Kanisius-Jakarta selama 6 tahun (1954-1960); pernah menjadi Pastor Kepala Paroki Santo Yusuf, Gedangan-Semarang, Paroki Theresia di Jakarta (selama 6 tahun) serta Paroki Jalan Malang di Jakarta (selama 7 tahun). Dalam tahun-tahun terakhir beliau menjadi penggerak Marriage Encounter dan Pembaharuan Kharismatik.

Beliau memiliki cita-cita mendampingi dan mengusahakan fasilitas yang membantu orang-orang menjadi manusia sejati, manusia yang dewasa sungguh dalam pikiran dan sikap, mental dan kemampuannya, manusia yang hidup karena didasarkan pada iman yang dalam dan kasih yang nyata. Ini beliau bina melalui pengarahan, melalui bimbingan pribadi dan kelompok, melalui pengarahan beberapa tim guru atau pembantu, dan dalam tahun-tahun terakhir beliau mendampingi kelompok Pembaharuan Kharismatik di Semarang dan memimpin Marriage Encounter di Semarang dan luar Semarang dalam Keuskupan Semarang.

Fisik yang makin menurun dan lemah sering mengganggu atau merintangi, tetapi dengan bijaksana beliau mengatur hidupnya sehingga sampai hari tua sedapat-dapatnya melayani kebutuhan rohani orang. Walaupun sudah tidak boleh jauh dari kontrol dokter, tetapi beliau masih dapat berbuat yang baik.

Pada tanggal 25 Desember 1979 – karena capai dalam masa Natal dan menghadapi pemindahan tugas baru ke Paroki Bongsari, Semarang – penyakit gulanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. Maka beliau masuk rumah sakit dengan harapan hanya untuk beberapa hari. Tetapi pada tanggal 10 Januari 1980 pagi, ternyata beliau mengalami infarct-jantung. Keadaannya menjadi buruk. Maka beliau minta sakramen pengurapan orang sakit untuk menghadapi segala kemungkinan. Setelah sakramen itu diterimakan pada jam 06.30, beliau minta agar doa-doa dalam sakratul maut didoakan sekaligus, seakan-akan ingin siap total. Dan pada jam 11.20, dalam keadaan sadar, dengan pernafasan yang semakin sukar dan berat, beliau meninggal dunia, kembali ke pangkuan Tuhan. Sedianya bulan Januari itu beliau akan pindah tinggal di Bongsari. Namun Tuhan menghendaki lain: perjuangan dan pengabdiannya di dunia ini dianggap cukup, maka beliau dipanggil pulang dan diberi ganjaran terang cahaya-Nya.

Beliau sungguh-sungguh seorang pendidik. Beliau selalu berusaha agar manusia muda dan dewasa semakin berkembang menjadi orang sebagaimana dicita-citakan Tuhan: terbuka untuk saling menolong, saling menghargai dan saling mencintai. Banyak bekas muridnya menjadi manusia pembangun. Selain itu, banyak keluarga mendapat inspirasi dari keyakinan imannya yang mendalam dan dorongannya untuk maju. Karya-karyanya adalah bukti sekaligus kesaksian mengenai sumbangan nyata iman yang serius ini. Melalui manusia-manusia yang beliau bantu menemukan Tuhan dan menemukan jatidiri dalam tugasnya, akan meneruskan karyanya dan menghadirkan rahmat-kasih Tuhan di tengah-tengah umat manusia.

Tugas Perutusan dan Karya-karyanya

Oleh para murid dan kenalannya, Romo Joanes van Waijenburg SJ dikenal sebagai pribadi yang menarik, hangat dan mampu memberikan semangat hidup. Beliau mempunyai keprihatinan yang kuat terhadap orang-orang miskin dan menderita; tetapi ia juga mengenal secara baik orang-orang pemerintahan yang menentukan kebijakan politik. Lebih daripada itu semua, beliau adalah manusia rohani yang senantiasa memompakan darah dari jantung Latihan Rohani Santo Ignatius Loyola. Melalui kesaksian hidup imannya dan tugas perutusan serta karya-karyanya, banyak orang dibawa kepada jalan Tuhan yang Mahabaik dan Mahaadil. Salah satu kesaksian tentang beliau itu ditulis oleh orang-orang yang didampingi di dalam Marriage Encounter, ketika mereka mengenang 40 hari meninggalnya.

Keprihatinan terhadap orang-orang miskin dan menderita sudah tampak sejak beliau bercita-cita menjadi misionaris di Indonesia. Dengan bekal keahliannya di bidang hukum sipil dan ketekunannya belajar bahasa Indonesia, Romo Waijenburg memperjuangkan kehidupan kaum pribumi yang lebih baik. Kehendak Tuhan atas dirinya tidaklah meleset. Melalui suara hati dan keputusan pembesar Serikat Jesus waktu itu, beliau diberi tugas di bidang pendidikan kaum muda. Tidak sampai dua tahun setelah menginjakkan kaki di Indonesia, beliau sudah memiliki relasi yang baik. Dan berkat dorongan Romo Beekman SJ, beliau membeli tanah seluas 7,5 hektar tanah di Jalan Karanganyar. Ke sanalah beliau kemudian memindahkan institusi pendidikan yang dirintisnya di Kalisari. Institusi pendidikan itu mencuat dari keprihatinannya terhadap kaum muda yang sedang mengalami krisis pasca Revolusi Fisik.

Bulan Mei tahun 1949, menjelang penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari tangan Belanda, banyak orangtua yang tinggal di Yogyakarta memboyong anak-anaknya yang berusia remaja ke kota Semarang. Hal itu diakibatkan adanya perang kemerdekaan. Situasi memprihatinkan yang menimpa anak-anak pribumi ini, begitu mendalam menyentuh hati dan menimbulkan kegelisahan dalam diri Romo Waijenburg. Melalui hatinya yang seperti itu, sebenarnya hati Tuhan sendiri yang tersentuh untuk memperhatikan orang-orang muda-remaja yang menjadi korban perang itu. Dan kalau Tuhan sudah memiliki rencana, siapakah yang mampu menggagalkannya? Benih pendidikan yang disemai dan dirintis pertumbuhannya itu kini telah menghasilkan ribuan alumni/alumnae yang tersebar di seluruh dunia.

Di samping tugas perutusan dan karya di bidang pendidikan yang mencita-citakan kedewasaan, kemandirian dan kepribadian yang utuh bagi orang-orang muda pribumi (Loyola-Semarang, Kanisius-Jakarta, De Britto-Yogyakarta), Romo Waijenburg juga mendampingi kehidupan keluarga-keluarga Kristiani melalui Marriage Encounter dan Pembaharuan Kharismatik. Itulah karya-karya beliau yang sangat membantu masyarakat Indonesia, yaitu: pendidikan orang-orang muda dan pendampingan keluarga-keluarga. Dengan tidak mengenal lelah dan tanpa begitu memikirkan bagi kepentingan diri-sendiri, beliau terus memperjuangkan pencerdasan orang-orang muda pribumi dan kesetiaan keluarga-keluarga Kristiani yang utuh dan saling mencintai. Kedua hal itu (yaitu: pendidikan kaum muda dan pendampingan keluarga Kristiani yang baik, setia dan saling mencintai), sungguh merupakan pilar utama kehidupan sekaligus bentuk konkret kesaksian akan karya Allah di dunia ini.

Menghidupkan dan Menghidupi Kembali Semangat Perjuangannya

Dua pilar kehidupan (pendidikan kaum muda dan pendampingan keluarga) dihidupi oleh Romo Waijenburg dengan semangat pengabdian kepada Tuhan yang dicintainya, semangat Santo Ignatius Loyola yang diikutinya, serta dengan seluruh dedikasi perjuangan yang tanpa mengenal lelah. Pandangan ke depan yang ingin diraihnya adalah membentuk kaum muda pribumi menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang bebas dan cerdas. Itulah sebabnya, seperti Kolese-Kolese Jesuit lainnya, dasar yang dipancangkan adalah visi 3C (Competence, Conscience dan Compassion). Dan sungguh, pada zaman pasca kemerdekaan RI, orang-orang yang memiliki kompetensi, hati nurani jernih dan kepedulian sosial terutama pada yang miskin dan menderita, itulah yang sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, salah satu yang beliau perjuangkan adalah mencari tenaga-tenaga pendidik yang sungguh memiliki kemampuan untuk menghantar kaum muda kepada visi tersebut. Bahwa tidak setiap orang dapat menjadi pendidik yang baik, itu benar-benar beliau sadari. Maka beliau mempersiapkan para pendidik dengan pendampingan yang sungguh-sungguh. Beliau membekali mereka dengan semangat perjuangan Ignatius Loyola dan mengobarkan jiwa mereka untuk menjadi pendidik yang unggul. Dan Romo Waijenburg sendiri adalah pendidik yang unggul.

Dalam pendidikan, bukan sekedar orang pintar yang diperjuangkan. Lebih daripada itu, orang-orang muda diarahkan untuk memiliki visi kemanusiaan yang nyata, supaya nantinya menjadi pemimpin-pemimpin yang memikirkan rakyat kecil, bukan sebaliknya memikirkan dirinya sendiri. Beliau mengerti dan menyadari betul pentingnya mendidik orang-orang muda menjadi pemimpin-pemimpin pelayan yang handal (leaders of service) sebagai realisasi dari semangat Injil Yesus Kristus. Dari pendidikan yang benar, diharapkan pula nantinya terbentuk sebuah keluarga yang setia dan menghayati nilai-nilai moralitas. Tujuan lebih jauh, mereka dididik untuk menjadi pribadi-pribadi yang dapat bekerja sama dengan Tuhan, membangun dan memperbaharui dunia. Itulah artinya jika semangat Santo Ignatius Loyola juga hidup, yakni: semangat Ad Maiorem Dei Gloriam (demi lebih besarnya kemuliaan Allah). Sebab, melalui pendidikan kaum muda dan pendampingan keluarga yang handal, kesaksian terhadap Tuhan yang Mahakasih dan Mahasetia dapat dihidupkan.

Maka tidak mengherankan, Romo Waijenburg tidak hanya mencari tenaga pendidik yang memiliki kompetensi dalam bidang yang diajarkan, tetapi terlebih memiliki kesaksian nyata yang dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, beliau sangat menekankan agar para pendidik di Kolese-Kolese mengetahui dan menghayati semangat dasar Santo Ignatius Loyola sendiri. Tanpa semangat yang menyala-nyala, perjuangan dapat kehabisan energinya. Tenaga pendidik yang tidak memiliki semangat seperti itu, akan kesulitan dalam membantu orang-orang muda meraih cita-cita menjadi pribadi yang mandiri, kompeten dan memiliki kepedulian sosial. Sungguh, kepedulian terhadap pendidikan kaum pribumi merupakan keprihatinan sekaligus cita-cita yang terus beliau perjuangkan. Itulah sebabnya, beliau mencari orang-orang yang tidak hanya mampu mendidik. Terlebih, beliau mencari orang-orang yang mau berjuang dalam semangat Santo Ignatius untuk memberikan kesaksian hidup konkret kepada orang-orang muda. Sebab pada dasarnya, mendidik adalah memberikan kesaksian hidup.

Baginya, guru bukanlah sekedar tenaga profesional. Beliau terus menanamkan kesadaran kepada para pendidik di Kolese-Kolese bahwa menjadi guru itu sungguh merupakan panggilan dari Allah. Dan kepada siapakah guru mesti berguru? Tiada lain, kepada Sang Guru sejati, Tuhan Yesus Kristus sendiri. Itulah roh dan semangat yang harus terus dihidupi dan dihidupkan di dalam Kolese-Kolese, apabila ingin terus dapat mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Jika roh dan semangat Injili serta roh dan semangat Latihan Rohani tidak dihidupi, Kolese-Kolese tidak lebih daripada perusahaan-perusahaan yang hanya ingin mencetak keuntungan material. Untuk sampai pada tataran seperti itu, diperlukan kedisiplinan yang tiada kenal lelah. Tidak hanya disiplin dalam membesarkan “otak”, tetapi terlebih dalam membesarkan “hati”. Tidak banyak gunanya memiliki ribuan alumni/alumnae yang besar otaknya tetapi kerdil hatinya. Tidak banyak gunanya memiliki alumni/alumnae yang hanya membesarkan egoisme dan kesejahteraan diri sendiri, tetapi tidak pernah memikirkan kemuliaan Allah dan keselamatan sesamanya. Dan itulah tantangannya: bagaimana terus-menerus menghidupkan dan menghidupi kembali roh dan semangat yang telah disemai dan ditumbuhkan oleh sang pendiri, roh dan semangat perjuangan Romo Joanes van Waijenburg SJ.

Penutup

Romo Joanes van Waijenburg SJ telah 29 tahun yang lalu meninggalkan kita dan dunia fana ini, kembali ke pangkuan Penciptanya. Namun roh dan semangatnya terus menghembusi kita semua; dan beliau terus merindukan roh dan semangatnya itu dihidupi kembali oleh para penerusnya, baik para Jesuit maupun rekan-rekan awam yang mendedikasikan hidupnya bagi perjuangan mendampingi orang-orang muda menjadi pribadi yang dewasa, memiliki kejernihan hati nurani dan kepedulian sosial. Semoga orang-orang muda, dengan demikian, juga disemangati untuk membaktikan hidupnya bagi perjuangan kebenaran dan keadilan, memperbaharui dunia.

Begitulah, melalui karya di bidang pendidikan orang muda (khususnya orang muda pribumi) dan pendampingan keluarga-keluarga Kristiani, beliau telah menghidupi sabda Yesus sendiri: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mencintai seperti Aku telah mencintai kamu” (Yoh 15:12). Kiranya baik jika kita yang sekarang ini hidup dan berjuang di dalam kolese-kolese Jesuit menghidupi perintah Tuhan itu, dan sertanya menghidupi juga roh dan semangat perjuangan perintis dan pendiri SMA Kolese Loyola ini.***

 Ag. Mintara Sufiyanta, SJ

Mark Bosco S.J.*

[Beberapa bulan yang lalu beredar film “The Passion of Christ” arahan Mel Gibson, yang menjadi polemik panas di Amerika. Di satu pihak, film tersebut mengangkat penderitaan Yesus sebagai topik yang sangat membantu renungan orang-orang Kristen menjelang perayaan Paska tahun ini; dari lain pihak muncul tuduhan bahwa film tersebut kurang sesuai dengan kisah Injil, terlalu mengeksploitasi penderitaan Yesus dan membaurkan semangat antisemitisme. Berikut ini kami sajikan tulisan seorang yesuit mengenai film tersebut, yang disarikan dari jawaban para responden, kebanyakan mahasiswa, yang diminta mengungkapkan kesan mereka setelah melihat film tersebut. Bahan diambil dari majalah Company, the world of Jesuits and their friends, Summer 2004.]

Aku tak pernah lupa, apa yang dikatakan magisterku, tatkala aku meninggalkan novisiat dan menjalani tahun orientasi pastoral, mengajar di sebuah SMA. Katanya, “Ingatlah moto St. Ignasius: masuk melalui pintu mereka, keluar melalui pintu kita.” Meski aku sekarang sudah menjadi dosen di sebuah universitas, kalimat tersebut masih juga terngiang di telingaku, terutama dalam menanggapi film dari Mel Gibson, The Passion of the Christ. Teman-teman yesuit, mahasiswa, teman-teman lain, keluarga – semua saja – ikut terlibat dalam pembicaraan panas tentang film itu dan komentar mass media terhadapnya.  Tulisan-tulisan dalam surat kabar dan majalah baik yang religius mau pun yang profan, semua memberikan hal-hal baru dan perspektif  kritis untuk direnungkan, yang membantu mengetengahkan kekuatan dan kelemahan film tersebut sebagai karya seni mau pun teologis.

Topik itu begitu hangat, sehingga Universitas Loyola di Chicago mengadakan diskusi panel, yang dikelola oleh fakultas bersama mahasiswanya.  Diskusi ini banyak dihadiri oleh para mahasiswa dari universitas Loyola, mau pun universitas lain di dekatnya. Seorang sarjana Kitab Suci mengkritik akurasi film tersebut dari segi sejarah atau pun biblis. Seorang profesor Yahudi membicarakan soal antisemitismenya. Seorang calon doktor di bidang teologi, pastor evangelis, memuji film tersebut dengan beberapa catatan, sementara seorang calon doktor lainnya, seorang perempuan awam katolik, merasa terganggu oleh penggambaran kekerasan dalam film tersebut. Pandangan para panelis saya rasa cukup objektif.

Akan tetapi selama waktu tanya jawab kebanyakan mahasiswa memberi reaksi positif pada film tersebut, yang sepertinya berlawanan dengan para panelis yang kritis itu.  Bagaimana perlawanan ini bisa terjadi? Ketika soal itu saya bicarakan di kelas, menjadi jelas bahwa para mahasiswa saya pun mempunyai perhatian yang berbeda dari para panelis tersebut. Mereka tidak memahami, mengapa para kritikus film tersebut tidak mempunyai perhatian pada pengalaman yang oleh para mahasiswa disebut “peristiwa suci” dalam hidup mereka. Yang mereka persoalkan bukanlah benar salahnya film tersebut, tetapi bagaimana film tersebut memberi makna dalam hidup mereka.

 

Generasi Y

Kehidupan macam apakah yang dihayati oleh Generasi Y, yakni anak-anak muda, yang lahir sesudah 1981, yang membuat mereka melihat film ini secara berbeda? Apakah saya yang berusia 39 ini dapat memasuki pangalaman mereka? Pertanyaan ini membawa saya pada suatu proyek. Saya meminta para mahasiswa mempertimbangkan persoalan film tersebut dari cara pelukisan tokoh-tokoh Maria, Yesus, Yudas dan Setan, hingga munculnya kecurigaan adanya anti-semitisme. Sekitar 40 mahasiswa, kebanyakan katolik, masing-masing dari ketiga kelas jurusan sastra Inggris dan Teologi, segera menulis makalah, mengirim e-mail dan mengadakan pembicaraan dengan saya menyangkut pertanyaan : Apakah ada pengalaman rohani yang kamu peroleh dari film itu? Apa katamu mengenai kekerasan yang ada disitu? Bagaimana dari segi aestetika? Jawaban-jawaban mereka memperlihatkan bentuk kontekstualisasi film tersebut dalam Generasi Y yang ada di Perguruan Tinggi kita.

Bagi kebanyakan mahasiswa, The Passion merupakan pengalaman rohani. Hanya sedikit yang merasa tidak terpengaruh oleh film tersebut. “Aku sangsi orang akan berpindah agama hanya dengan melihat film tersebut, akan tetapi pasti terkena daya untuk memperbaharui imannya,” kata salah seorang. Sementara yang lain menambahkan, “Tidak ada ajaran baru tentang Yesus, aku sudah kenal ceriteranya, tetapi film itu telah menghadirkan saya dalam peristiwa Yesus secara yang tak kuduga sebelumnya.” Ada lagi yang menulis, “Meski saya seorang Muslim dan tidak melihat Yesus sebagaimana rekan Kristen, namun saya merasa amat tergerak oleh kekerasan yang diderita Yesus.”

Kesan bahwa film itu mirip pengalaman liturgis begitu kuat dalam jawaban- jawaban mereka. Melihat film itu seperti merasakan daya ritual daripada menerima pelajaran agama atau sejarah Kitab Suci. Kebanyakan teolog dan kritikus katolik memberi komentar tentang begitu dekatnya film itu dengan tradisi pertunjukan sengsara Tuhan dari Abad Pertengahan, atau kebiasaan jalan salib. Kesan bahwa film ini merupakan waktu “liturgis” dikemukakan juga oleh seorang lelaki muda yang melakukan retret Kairos di sekolahnya, sebuah kolese yesuit,  beberapa tahun kemudian. Ia mencatat bahwa “film itu seperti dalam Kairos, seolah kita berada dalam waktu Tuhan. Waktu seolah berhenti disitu. Ketika film selesai, aku tidak sadar bahwa waktu dua jam lebih telah berlalu.” Seorang senior mencatat, betapa aneh rasanya berpindah dari “semua embel-embel pengantar pada awal itu memasuki wilayah yang perlahan-lahan menjadi kenyataan perjalanan bersama Kristus.” Ungkapan-ungkapan mereka ini bergaung dalam jawaban dari kebanyakan mahasiswa.

 

Kekerasan

Yang paling menarik bagiku, bagaimana para mahasiswa bereaksi terhadap kekerasan yang  ditampilkan dalam film. Salah seorang mahasiswa mengatakan, “Adegan penderaan sangat kering dan saya tak tahan menyaksikan sebagian darinya, padahal saya orang yang biasa nonton film keras dan penuh darah. Adegan itu menjadi sadis karena kebanyakan film yang keras tidak mempertontonkan orang yang sama sekali tak berdaya disiksa hingga mati.”

 

Nilai yang mengejutkan

Seorang perempuan melanjutkan, mengatakan, “Saya telah dibuat tidak peka oleh karena banyaknya kekerasan yang telah saya saksikan dalam hidup saya. Film-film keras telah berkembang sampai menggetarkan dan menaikkan nilai kejutan untuk memuasi selera kita.” Lantas, katanya, kenapa film ini berbeda? “Jikalau The Passion merupakan ceritera fiktif, aku tak peduli lagi pada kekerasan di dalamnya. Saya akan bandingkan ke 39 cambukan itu dengan pemenggalan kepala dalam film Kill Bill atau pun pembunuhan ngeri dalam Pulp Fiction. Tetapi tidak demikian pengaruh kekerasan dalam The Passion sebab Kristus yang didera disitu.”

Seorang perempuan lainnya memberi komentar, “Film ini merupakan yang paling keras dan menggugat yang pernah saya tonton… sungguh berat untuk menonton beberapa bagian darinya, seolah-olah menarikku untuk ikut menderita melalui kekerasan itu bersamanya dan bersama ibunya.”

Akhirnya, seorang senior menambahkan satu catatan refleksi, “Saya menyamakan diri saya sama sekali dengan Yesus, sehingga praktis saya ikut merasakan penderitaannya ketika menonton film itu. [Sampai saat ini] belum pernah terpikirkan mengenai apa taruhan itu kalu orang mengatakan bahwa Yesus mengalami penderitaan ini demi diriku, demi kemanusiaan.”

Penggunaan kekerasan itu tampaknya merupakan inti dari film Gibson, yang memberi efek besar bagi para mahasiswa, karena itulah yang menggerakkan mereka. Kebanyakan mahasiswa menjawab bahwa kekerasan dalam film tersebut mendekonstruksi kenyataan asli dari kekerasan dalam televisi dan film-film lain, membuat mereka tidak siap untuk perjumpaan yang keras dan terpusat ini. Seorang anak muda mencatat bahwa “setelah terbiasa dengan suatu versi yang manis dari penderitaan Yesus selama pendidikan kekatolikan saya di sekolah dasar dan menengah, mula-mula sukar bagiku untuk melihat sesuatu yang nyata. Pada saat yang sama saya menjadi sadar betapa brutal penderaan dan penyaliban yang dialami Yesus.”

Yang lain lagi merefleksikan, “Saya terbangun. Bahkan tak dapat menangis. Saya begitu terkejut. Saya baru dapat menangis setelah saya pulang. Apa yang telah saya lihat di depan saya begitu nyata, menunjuk pada suatu peristiwa yang sering kuabaikan kalau saya berpikir mengenai diri saya sebagai seorang katolik yang mengikuti Kristus. Sepertinya sebuah realitas atas (hyper-reality), yang bergeser dari bayangan bahwa dengan melihat (film) diperoleh efek khusus yang menjadikannya lebih realistis dan fakta bahwa itulah yang sesungguhnya terjadi pada diri Yesus,.”

Salah satu jawaban yang menarik dan penuh pemikiran muncul dari seorang mahasiswa tingkat dua yang menjuluki visi Gibson sebagai “realisme keindahan dari kekerasan.” Ia mencatat, “Kekerasan disitu telah menghapus semua emosi yang memungkinkan kita lepas dari kekerasan dalam budaya kita. Kekerasan disitu terfokus pada satu orang dan tak ada unsur penghiburannya sama sekali. Kalau pun film itu mulai dengan penggetaran (thrill), namun segera bergerak ke arah kejutan (shock), dan kamu dibiarkan hanya dengan perasaan ngeri dan kesedihan karena kekalahan. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah tetap diam, melihatnya dan menjadi saksi.”

 

Tragedi Berdarah

Pernyataan di atas ini terasa kebenarannya bagi kebanyakan mahasiswa yang lama merasakan kekerasan sebagai bagian dari Zeitgeist (semangat zaman). Kekerasan itu menggetarkan (thrills), mengejutkan (shocks) dan memberikan penghiburan (entertains), tetapi sejauh hal itu aman, karena terbatas dalam barang cetakan, film atau video game saja. The Passion dari Mel Gibson merupakan tragedi berdarah yang belum pernah direalisasikan dalam film dengan sebegitu menggugat. Tidak ada lagi jarak dan ruang kecil untuk memandang secara ironis dari produksi ini. Si penonton sekarang diminta berdiri dan menyaksikan sendiri.

Sangat aneh, bahwa sedikit saja mahasiswa yang sampai berpikir bahwa Gibson telah menempatkan Maria sebagai lensa hermeneutik yang terakhir. “Maria adalah satu pelaku dengan siapa anda dapat berdiri bersama,”  kata seorang mahasiswa. “Jikalau Gibson tidak meletakkan Maria disitu, dalam posisi itu, akan menjadi berat bagi kita untuk tahan menyaksikan film itu,” tambah yang lain. Dan seorang senior berkomentar, “Maria menolong untuk mengangkat kepribadian Yesus lebih dari pada pelaku lainnya. Kita masuk dari posisi ini. Dia ada disana sejak awal hingga akhir hidup Yesus.”

Apa pun keunggulan dari karya  sinematografi ini, entah ketepatan sejarah, atau visi teologis dari film, yang jelas film ini telah membuat para mahasiswa berpikir. Memang, tampaknya hal itulah yang menjadi kesepakatan para responden. “Film itu sungguh menantang  konsep-konsep saya mengenai penebusan lewat penderitaan.” “Saya tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.” Atau “Film itu membuatku berpikir mengenai imanku.” “Membuatku memikirkan kembali apa-apa yang sudah saya anggap wajar.”

 

Fenomen Budaya

Film Gibson telah mengerjakan apa yang banyak diangankan orang. Film itu telah menjadi fenomen budaya, yang menuntut orang untuk berpikir mengenai Jum’at Suci secara sama sekali baru. Karena generasi post-Vatikan ke II tidak biasa dengan Jalan Salib atau menyanyikan kata-kata Stabat Mater (lagu terkenal yang melukiskan Maria berdiri di bawah salib) atau duduk mendengarkan kotbah panjang mengenai penderitaan Kristus selama masa Prapaska,  film ini mendesak mereka untuk “berjaga dan menyaksikan” apa yang oleh orang Katolik generasi sebelumnya hanya diterima begitu saja. The Passion of the Christ mungkin menjadi ungkapan baru dari sebuah devosi bagi generasi yang baru.  ***


*  Mark Bosco S.J. dosen di Loyola University, Chicago.

(Ensiklik Paus Benedictus XVI)

 

Carlo Urbani lahir di Italia, di kota Castelpiano, pada tahun 1956. Sudah sejak masih muda dia selalu penuh perhatian terhadap orang yang lemah dan tersingkir. Dia selalu aktif dalam kegiatan paroki, dan ikut kerjasama dalam aksi mengumpulkan obat-obatan untuk organisasi “Mani Tese”, (Tangan Terulur). Organisasi ini merupakan kelompok solidaritas yang menyelenggarakan liburan – liburan untuk orang-orang cacat. Carlo juga aktif dalam paduan suara paroki, main organ dan menyanyikan kidung-kidung gerejani. Karena dia amat berminat untuk menolong orang-orang yang menderita, dia memilih untuk menempuh studi ilmu kedokteran dengan spesialisasi penyakit-penyakit menular.

 

Setelah menyelesaikan studi, Carlo bekerja sebagai dokter umum. Kemudian dia menjadi asisten di Rumah Sakit Mecerata dalam bidang penyakit menular, dan bekerja disitu selama 10 tahun. Sementara itu dia nikah dengan Giuliana dan dikaruniai tiga orang anak: Tomaso, Lucia dan Magdalena. Pada masa itu Carlo mulai merasa terpangil untuk menolong para penderita  penyakit yang dibaikan oleh negera-negara kaya, khususnya oleh dunia bisnis farmasi yang lebih mementingkan keuntungan. Dalam tahun 1988-1989 dia bersama dengan beberapa dokter lain  mengadakan beberapa perjalanan ke Afrika Tengah untuk memberi pertolongan di daerah pedesaan yang paling terpencil. Dia didukung oleh umat paroki Castelpiano yang membantunya dengan membentuk “jembatan” pengobatan ke Mauritania.

 

Karena pengalaman langsung dengan  keadaan yang nyata di Afrika, Carlo mulai menyadari bahwa penyebab kematian di antara bangsa-bangsa dunia ketiga, tidak jarang merupakan penyakit-penyakit biasa yang sebetulnya mudah diobati, seperti: diare, asma, paru-paru (TBC), tetapi tidak tersedia obat-obatan untuk itu, karena tidak ada firma atau instansi yang bersedia mengirimkannya ke daerah-daerah atau negara-negara yang demikian miskin, sehingga tidak ada pemasaran yang bisa menguntungkan. Keaadan itu menyentuh hatinya sedemikan sehingga dia mengambil keputusan meninggalkan Rumah Sakit Macerata, walaupun dia ditawari menjadi Direktur Rumah Sakit itu.

 

Pada tahun 1996 Carlo menjadi angauta “Medecins Sans Frontieres” (MSF: Dokter-dokter yang tidak mengenal perbatasan). Bersama dengan seluruh keluarganya dia berangkat ke Kamboja untuk bekerja di proyek pengobatan “schistosomiasis”, suatu penyakit dalam, oleh karena parasit dalam usus. Carlo menemukan bahwa penyakit itu mudah menular, lebih-lebih karena alasan-alasan sosial dan ekonomi. Rakyat meninggal karena diare dan AIDS, tetapi pengobatan untuk menangani penyakit itu dan komplikasi-komplikasinya tidak tersedia dan tidak bisa diperoleh karena kemiskinan mereka.

 

Sebagai Konsultan pada WHO (World Health Organisation) untuk penyakit menular dia mendapat kesempatan untuk menegaskan dalam forum internasional  bahwa alasan-alasan utama menularnya dan menyebarnya penyakit-penyakit adalah kemiskinan. Perhatian pertama bagi dia sebagai dokter MSF adalah mengobati orang sakit, tetapi dia tidak bisa tinggal diam mengenai sebab-musabab penderitaan mereka.

 

Dalam bulan Januari 2000 dia menulis hal itu dalam  Surat Kabar Avvenire: ”Saya ini sebagai konsultan pada WHO dibidang penyakit menular. Dalam semua rapat-rapat internasional selalu ditegaskan bahwa sebab-musababnya kebanyakan penyakit hanya ada satu: kemiskinan. Segera sesudah menyelesaikan studi saya, saya ke Afrika. Saya merasa ‘terkejut dan kecewa’ waktu menemukan bahwa orang disana tidak meninggal karena penyakit-penyakit yang aneh-aneh, tetapi yang biasa-biasa saja, seperi diare, paru-paru. Diare sekarang masih merupakan salah satu penyakit  utama penyebab kematian di dunia ini, dan itu tidak mungkin diobati, karena obat–obatnya tidak tersedia. Salah satu tantangan untuk MSF adalah untuk ikut serta dalam perjuangan untuk penyediaan obat-obatan penting yang dapat diperoleh rakyat miskin. Oleh sebab itu kami menentukan bahwa Hadiah Nobel yang diberikan kepada MSF akan kami pergunakan untuk proyek itu.”

 

Pada tahun 1999 Carlo dipilih sebagai Ketua MSF di Italia. Dalam kedudukannya itu dia menjadi anggauta delegasi yang menerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian dari organisasi itu. Sesudah tugas di Kamboja, dia melibatkan diri juga ke Laos dan lebih lanjut ke Vietnam. Dalam minggu-minggu terakhir dia penuh keberanian melibatkan  diri dalam pengobatan dan penyelidikan penyakit SARS, suatu penyakit pernafasan yang berbahaya dan menular  di seluruh dunia. Ia menyadari bahwa dia mengambil risiko besar akan penularannya, tetapi dia mengatakan kepada isterinanya : “Jangan kita berpikir picik egois; Mari kita memikirkan orang-orang lain.” Pada awal bulan maret dia ke Bangkok untuk menghadiri Konggres. Tidak ada indikasi apapun bahwa dia sudah kena virus penyakit SARS itu. Tetapi sesampai di Bangkok ternyata muncul simptom-simptom penyakit itu, dan Carlo sebagai ahli dalam bidang itu amat menyadarinya.

 

Setelah  diopname dalam rumah sakit dia menasehati isterinya agar bersama-sama dengan ketiga anak mereka  pulang kembali ke Italia. Ketiga anak itu segera pulang, tetapi Giuliana, isterinya mau menemani Carlo. Cinta kasih yang membuat Carlo sepanjang hidup merangkul para penderita sakit, kini menolak merangkul keluarganya,  karena bahaya lewat pernafasan mereka ketularan infeksi virus itu juga. Selama beberapa waktu Giuliana  masih mendampingi Carlo tetapi mereka tidak boleh berkontak langsung. Pada 29 Maret 2003 Carlo menerima sakramen Perminyakan Suci terakhir dan meninggal dunia. Jenazahnya dibawa pulang ke Italia. Giuliana ikut mengantarnya pulang. Carlo itu seorang dokter, seorang suami dan seorang ayah, tetapi terutama dalam seluruh hidup dia seorang beriman yang secara sadar mengetrapkan cita-cita “Khotbah di Bukit” dan dengan demikian mampu memberi pengharapan kepada orang-orang di sekitarnya. Hidupnya merupakan benih harapan dalam dunia penuh penderitaan dan keputusasaan. Kata paus Benedictus dalam Ensikliknya: SPE SALVI: “Kita deselamatkan karena diberi harapan.” Itulah yang nyata dalam contoh dokter Carlo Urbani itu.

(Harry van Voorst SJ)

 

Beberapa tahun yang lalu, saya retret di Girisonta. Salah satu bahan yang saya pakai adalah “Memilih Kristus di Dunia” karangan Jospeh A. Tetlow S.J; sebuah buku yang indah, baik format mau pun isinya, tebal (dan pasti mahal), diterjemahkan oleh Willie Koen, dalam rangka kerjasama dengan Universitas Sanata Dharma, sebagai kenangan Provinsi Serikat Yesus Indonesia atas 75 tahun berdirinya KOLSANI.

Andaikata tidak saya bawa buku ini untuk retret, barangkali ia akan tersimpan rapi tak tersentuh untuk waktu yang lama. Sebab sebagaimana dimaksud di pengarang, buku ini adalah buku pegangan (manual) untuk memberi bimbingan Latihan Rohani Ignasian menurut anotasi 18 dan 19 kepada para awam yang membutuhkan. Dan saya merasa kurang punya peluang untuk pekerjaan ini.

Sebenarnya ketertarikan saya pada buku ini sudah lama, sejak buku itu diperkenalkan oleh Rm. Darminta S.J. dalam retret kami selama tersiat, tahun 1992. Lalu kami rame-rame memfotokopi dengan semangat dan harapan waktu itu, bahwa suatu hari kami pun akan diminta dan mendapat kesempatan untuk memberi bimbingan Latihan Rohani dalam hidup sehari-hari bagi umat biasa atau tokoh-tokoh  katolik yang sibuk dan tak mampu meluangkan waktu panjang untuk retret. Tetapi waktu berlalu sesudah tersiat sampai saat saya menghadiri Lokakarya Latihan Rohani di Cimacan  (Villa Renata) pada Februari 1997, dimana pater Tetlow sendiri hadir dan memimpin. Suatu kesempatan yang bagi saya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana memberi Latihan Rohani yang sebaiknya. Buku dari pater Tetlow itu tiba-tiba menjadi aktual lagi bagi saya dan lebih terasa manfaat dan kemudahan pemakaiannya, dengan lembar-lembar pembimbing di sebelah kiri serta lembar-lembar bagi pembuat retret di sebelah kanan, yang setiap kali bisa difotokopi dan diberikan kepada peserta retret.

Saya tidak tahu dan tidak ingat, sejauh mana buku  itu sudah dibedah atau diresensi atau dibicarakan sesudah diterbitkan. Pada waktu kita merayakan 450 tahun Serikat dan 500 tahun hidup Ignatius,  Rm. Tom juga telah membuat buku tuntunan retret anotasi 18 dan 19 untuk komunitas-komunitas kita. Waktu itu memang ada gerakan untuk mempromosikan Latihan Rohani dalam hidup sehari-hari. Tentu saja nasib karangan Rm. Tom dan juga buku Tetlow yang baru ini dapat kita pertimbangkan. Sebagai manual, tentu saja bisa dipertanyakan sejauh mana sudah dipergunakan dan dimanfaatkan secara efektif.

Dalam ngomong-omong dengan seorang rekan yesuit, saya berpikir memang banyak orang yang membutuhkan Latihan Rohani dalam hidup sehari-hari. Akan tetapi kalau dilayani, sejauh mana kita bersedia (atau mamapu) meluangkan diri? Kalau dituruti, buku Tetlow ini bisa menuntut cukup banyak waktu, bagi orang yang sudah sibuk (atau mapan). Membimbing satu orang saja, misalnya, selama tiga puluh lima kali pertemuan dengan satu kali pertemuan per minggu untuk konperensi selama kurang lebih satu jam dengan peserta retret, membutuhkan ketekunan tidak saja bagi peserta Latihan Rohani, tetapi juga bagi pemberi Latihan Rohani. Orang harus menyediakan diri sungguh-sungguh dan mengatur waktunya, agar tidak membuat perjalanan lebih dari satu minggu, yang bisa membuat satu pertemuan batal atau tertunda. Itu pun baru satu orang. Bagaimana kalau harus membimbing lebih dari satu orang? Membutuhkan lebih banyak waktu lagi. Jadi dalam waktu satu tahun, mungkin kita hanya bisa menolong satu orang saja.

Hal inilah yang memerlukan pemikiran dalam menindak lanjuti penerbitan buku Tetlow itu. Tidak perlukah dibicarakan siapa calon-calon yang perlu diberi retret anotasi 18 dan 19 itu? Bagaimana menyeleksinya? Para pemuka jemaat? Para politikus? Cendekiawan katolik? (yang sudah lama mengeluh kurang mendapat pelayanan kategorial?). Tidak perlukah dipromosikan secara agak khusus praksis Latihan Rohani anotasi 18 dan 19 ini untuk mereka? Sudah siapkah kita menyediakan pelayanan itu? Perlukah dibentuk panitia promosi yang melayani mereka yang membutuhkan (semacam medan kerasulan baru?) ataukah cukup dilayani secara sambilan oleh semua yesuit yang kebetulan diminta untuk membimbing? Tidak bisakah pendampingan Latihan Rohani jenis ini dilakukan secara kelompok, dan tidak hanya pribadi, untuk mengefesiensikan tenaga yang ada? Inilah sejumlah pemikiran atau lebih tepat pertanyaan yang mungkin perlu dibicarakan, kalau mau menggunakan dan memanfaatkan buku Tetlow ini dengan sebaik mungkin. Dari sini mungkin akan berkembang studi Spiritualitas Ignatian di Indonesia. (A. Sudiarja)

Spiritualitas Ignasian di Tengah Keramaian

 

Akhirnya dia datang, Pater Donatus Jeyaraj SJ, instruktor tersiat dari Srilangka itu, sebagaimana telah direncanakan. Dan Pusat Studi Ignasian bersama dengan Campus Ministry telah lama pula menyiapkan acaranya: Retret delapan hari dengan bahasa Inggris dan seminar sehari bersamanya di kampus tercinta ini. Proposal sudah diajukan, brosur dan poster sudah dibuat dan diedarkan seperti biasanya. Bahkan kali ini, romo P. Wiryono SJ, rektor yang baru, juga berkenan menyediakan waktu untuk menyemarakkan acara dengan tawaran empat kali week ends rekoleksi di Sangkal Putung. Akan tetapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Peristiwa gempa melanda kota Yogyakarta dan buyarlah segala rencana.

 

Tetapi tidak! Bukan segala rencana. Hanya rencana tamu terhormat kita itu yang terpaksa dibatalkan, karena situasi dan kondisinya yang tidak memungkinkan, sementara rencana lain hanya mengalami pengunduran saja. Empat kali week ends tetap dijalankan dan sebagian telah terlaksana dengan baik. Demikian pun seminar “Ignatian Spirituality as Spirituality in the Market Place” tetap dijalankan. Jurnal Anda hadir saat ini untuk mengantarkan Anda pada isi seminar yang dibawakan oleh empat pembicara. Seperti biasa, makalah mereka ada dalam rubrik “Fokus Kita” dan bisa Anda saksikan, sehingga bagi yang tidak sempat ikut serta seminar masih dapat membacanya.

 

Kiranya edisi kali ini bisa kita sebut istimewa, karena isinya yang lebih tebal dari biasanya. Tentu saja bukan sekedar kebanyakan karangan, melainkan karena tahun ini Jurnal kita, yang mempromosikan spiritualitas Ignasian perlu juga berpartisipasi dalam pesta Yubileum Serikat Yesus, yang mengenang 500 tahun kelahiran Santo Fransiskus Xaverius dan Beato Petrus Faber, dan terutama 450 tahun wafat santo Ignasius sendiri. Kiranya boleh juga kita berpartisipasi dalam pesta yang dirayakan oleh para yesuit itu, karena kita pun ingin menghayati semangat hidup yang diajarkan oleh santo Ignasius Loyola, yang kita kenal sebagai spiritualitas Ignasian itu.

 

Spiritualitas Ignasian telah lama dianut oleh banyak sekali orang dari zaman ke zaman dan telah dikembangkan juga pemahamannya lewat studi-studi, sehingga aktualitasnya tidak pernah lekang dalam arus zaman. Bahkan kini pun, ketika kita berada dalam suatu dunia yang jauh berbeda situasinya dari dunia Ignasius, semangat hidup santo ini masih tetap relevan. Pada zamannya Ignasius hidup di tengah suasana masyarakat yang masih religius; mereka mendengar lonceng gereja setiap hari dan mendaraskan doa “malaekat Tuhan”, melihat pastor dan religius berjubah putih di sekitar mereka, mendengar lagu-lagu gregorian di gereja. Dewasa ini dunia kita lebih diwarnai sekularitas daripada religiusitas; kita lebih sering mendengarkan lagu-lagu pop, melihat acara televisi yang penuh dengan hiburan, toko-toko nyaris buka sepanjang hari menyediakan keperluan kita. Apakah kita kehilangan penghayatan rohani? Tidak harus!

 

Namun untuk bisa menghayati spiritualitas yang mendunia semacam itu, diperlukan kemauan kita untuk tetap tekun merenungkan  dan saling membagikan pengalaman-pengalaman rohani kita, dalam berbagai kesempatan pertemuan antar rekan, sehingga kita menjadi terbiasa, tidak asing dengan cara hidup dan cara pandang Ignasius yang mendukung kehidupan kita di zaman sekarang (A. Sudiarja SJ). ***

Spiritualitas Ignasian sebagai ‘counter’ Kemajuan

 

Tanpa kita sadari tahun 2005 dengan cepat lewat. Pesta-pesta 50 tahun universitas kita semakin terasa tinggal sebagai ingatan. Ada banyak kesibukan yang sudah kita lakukan dalam merayakan pesta perak tersebut, dari acara-acara yang bersifat kekeluargaan (gerak jalan, misa), perlombaan (melukis anak-anak, menulis esai), pameran (foto, buku), bakti sosial (khitanan massal, pengobatan, senam kesehatan), acara akademis baik berupa seminar dan sarasehan, mau pun penerbitan buku-buku bunga rampai,  hingga yang bersifat seremonial (golden night dengan Sri Sultan, Ekaristi dengan bapak Uskup).

Dalam rentetan agenda tersebut, Jurnal kita pun tidak ketinggalan ikut serta berpartisipasi dengan mengadakan sarasehan secara khusus pada bulan Agustus, bekerjasama dengan “Campus Ministry” bertema “Manajemen Karier dan Hidup Pribadi. An Ignatian Way” dengan pengunjung yang luar biasa banyaknya, melebihi acara semacam pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan melebihi target 300 orang. Dari peserta juga diminta kesan dan pesan untuk kelanjutan Jurnal kita mau pun kegiatan  sarasehan itu.

Akan tetapi selain acara-acara pesta perak itu, universitas kita juga disibukkan oleh berbagai hibah. Setelah keberhasilan beberapa prodi dalam Program Hibah sebelumnya, maka tahun lalu universitas menawarkan kemungkinannya berbagai prodi mengajukan proposal untuk ikut serta Program Hibah Kompetisi (PHK) 2006. Hampir semua fakultas mewakilkan salah satu atau beberapa prodi untuk maju dalam seleksi internal. Setelah banyak persiapan dilakukan, termasuk kerja lembur untuk rapat dan diskusi, akhirnya universitas mengirimkan delapan proposal untuk diajukan.

Sesudah semua hiruk pikuk peristiwa itu, maka tahun ini kita memulai periode dengan rektor baru. Dan salah satu kegiatan penting tahun ini, yang dirintis oleh romo rektor adalah mempromosikan Spiritualitas Ignasian. Kebetulan, tahun ini Serikat Yesus Indonesia sedang merayakan Jubileum peringatan 500 tahun lahirnya Fransiskus Xaverius dan Petrus Faber, serta 450 tahun wafatnya Ignasius Loyola. Universitas kita, yang mempunyai ciri Ignasian,  tak boleh tidak ikut terlibat dengan pesta ini. Maka pada pertengahan tahun ini akan hadir di tengah-tengah kita romo Donatus Jeyaraj S.J., rekan romo rektor sewaktu menangani tersiat di Srilangka. Beliau berasal dari India, mantan magister novisiat, mantan provinsial dan kini instruktor Tersiat di Srilangka. Beliau akan memberikan retret dan seminar Ignasian untuk kita semua. Tema yang beliau tawarkan adalah “Ignatian Spirituality as Spirituality in the Market Place”. Agenda kegiatan beliau dapat anda baca dalam Jurnal ini.

Dengan langkah awal ini, kita disadarkan bahwa Spiritualitas Ignasian memang harus selalu kita hidupi, agar semakin hari semakin dirasakan sebagai ciri khas dan keunggulan universitas kita. Di tengah kekhawatiran dan mungkin sinisme zaman modern, yang curiga terhadap apa-apa yang bersifat spiritual, kita harus terus berusaha menampilkan wajah Spiritualitas Ignasian yang pas, untuk meyakinkan bahwa Spiritualitas Ignasian bukan saja tidak berlawanan dengan semangat kemajuan, inovasi atau pun modernitas, melainkan justru diperlukan untuk memberikan counter atau pun partner yang sehat, tanpanya kemajuan dan modernitas hanya akan membawa kita pada persaingan yang katastrofal, yang tidak jelas arahnya (A. Sudiarja SJ.).

DITELAN GADGET

YP. Sunari, SJ

Sejak  dua hari sebelum iPad2 diluncurkan di seluruh Amerika Serikat, Amanda Foote sudah antre di depan took Apple. Ia tidak beranjak meski hujan mengguyur dan hanya dapat memejamkan mata selama 3 jam. Sampai akhirnya pada detik-detik  menjelang toko itu dibuka, ia menjual antreannya ke Hazem Sayed, seorang pengembang program (application developer) sekaligus maniak Apple sejati. Anda tahu berapa harga yang Amanda terima untuk semua pengorbanan tersebut? Harganya 900 dollar AS, atau lebih mahal dari iPad2 termahal. Amanda lalu memakai uang ini untuk membeli tiket konser Lady Gaga. (Kompas 5/5/2011)

Setiap kali ada peluncuran produk gadget baru, banyak orang selalu ramai mendatangi toko-toko elektronik. Kedatangan mereka membawa berbagai alasan. Mereka rela mengantre demi menjadi pembeli yang pertama. Ada yang hanya ingin tahu spesifikasi dan bentuk fisiknya untuk dibandingkan dengan produk lainnya. Atau, mereka ingin menjajal menu dan fitur-fiturnya. Tak sedikit pula yang narsistis dengan memotret diri sendiri saat mencoba menggunakan perangkat tersebut.

Tulisan pendek ini mau melihat perilaku konsumen terhadap gadget. Gadget dalam berbagai merek dan keunggulannya masing-masing terus membanjiri pasar. Berbagai kalangan masyarakat diincar dan disodori produk yang disesuaikan kondisi masyarakat tersebut. Segmentasi pasar gadget semakin spesifik mengincar konsumennya menurut golongan ekonomi, profesi, umur dan budaya. Disediakan produk yang cocok bagi mereka menurut ukuran produsen. Sebagai konsumen akhir dari sebuah produk gadget, apakah kita sungguh membutuhkannya atau sebenarnya hanya korban sebuah propaganda penawaran iklan yang menelan kita? Pada awal tulisan ini, kita akan melihat  apakah gadget itu. Sikap kita terhadap gadget yang ditawarkan, apakah demi gaya atau benar-benar kita membutuhkannya?

Continue Reading »

W. Teguh Santosa, SJ

Suatu fakta yang tak terbantahkan mengenai Facebook (FB) adalah bahwa hanya dalam waktu kurang lebih 15 bulan setelah facebook.com diluncurkan, pada Mei 2005 jejaring sosial ini telah memiliki 2,8 juta pengguna aktif. Sampai dengan Maret 2011, jejaring ini telah memiliki pengguna aktif sekitar setengah miliar dari penduduk bumi. Popularitas FB telah merevolusi cara interaksi pertemanan pada masa kini dari sebuah relasi tradisional tatap muka menjadi metafriend (teman maya). Apa yang perlu dimaknai dalam revolusi pertemanan ini?

Sebuah Kenyataan Baru

Santo sekarang tak lagi muda. Pada Juni 2011 ia menginjak usia 46 tahun. Sekarang ia hidup bersama keluarganya yang telah mapan, dengan isteri yang setia dan dua orang anak perempuan yang cantik-cantik, secantik ibunya. Saat muda, ia adalah seorang pemuja cinta pada pandangan pertama. Dua puluh enam tahun yang lalu, Santo memiliki pengalaman jatuh cinta oleh pandangan pertama, meski hal itu tak mampu ia ujudkan. Itu terjadi ketika ia masih kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta. Ia masih mengingat nama bintang kejora di fakultasnya. Kini, telah setahun lebih ia memiliki akun FB. Tiba-tia ia teringat akan bintang kejoranya. Ia lantas mengetik dalam laman FB nama yang dengan jelas masih diingatnya: Santi. Santo menemukan nama itu dan dari foto profilnya, ia masih mengenali senyum ceria Santi. Senyum itu masih sama dengan senyum 26 tahun lalu.

Santo mengalami, apa yang dahulu adalah sesuatu yang tak mungkin ia ujudkan, kini dengan FB, kerinduan masa lalu seolah mendapat pemenuhannya. Santo lantas menambahkan Santi dalam akun FB sebagai temannya. Di hari berikut, ia mendapatkan jawaban bahwa Santi menerimanya sebagai teman.

Kisah di atas adalah salah satu pengalaman mengenai penggunaan FB yang membantu orang untuk menemukan teman-teman lama dalam beragam pengalaman pertautan relasi pada masa lalu. Ada pacar lama, ada teman sekelas yang duduk sebangku, ada teman akrab yang telah lama tak jumpa dan seterusnya. Seperti Santo, ia tak hendak membangun kembali mimpi masa lalu. Ia tahu, Santi sekarang juga telah hidup dalam keluarga yang bahagia dan harmonis. Tetapi dengan FB, apa yang dahulu tak mungkin dijalani dalam relasi konkret, sekarang menjadi lebih mudah. Segala hambatan psikologis yang dahulu menghalanginya menjalin relasi dengan Santi kini sirna. Orang dapat menjalin relasi langsung, bahkan mampu menerobos masuk ke dalam kehidupan pribadi tanpa ada hambatan jarak dan waktu.

Continue Reading »